Sumber: Buku Biografi Tan Malaka Karya Masykur Arif Rahman
Pada bulan November 2013, diterbitkan sebuah buku biografi yang menarik, yang dapat kita cari di toko buku-toko buku besar seperti Gramedia, Gunung Agung, dan lainnya.
Sebuah buku karya Masykur Arif Rahman terbitan Palapa. Sebagaimana nampak pada gambar cover diatas, buku tersebut berjudul “TAN MALAKA, Pahlawan Besar Yang Dilupakan Sejarah”.
Buku ini sekilas bagi saya mirip dengan buku-buku biografi nya pahlawan Revolusi Kuba yang terkenal juga sebagai simbol anti kapitalisme masa kini, Ernesto “CHE” Guevarra.
Sehingga setelah membaca buku ini saya menyimpulkan sendiri bahwa kebesaran dan kisah petualangan politik Tan Malaka sebanding dan tak kalah impresif nya dibandingkan dengan biografi Che Guevara yang kini lebih mendunia.
Jika Che, sebelum dan sesudah kemenangan Revolusi Komunis Kuba di tahun 1958, adalah seorang petualang kemanusiaan dan politik, menjadi dokter sekaligus aktif dalam berbagai gerakan-gerakan perlawanan terhadap kediktatoran imperialis dan kalpitalis di berbagai negara Amerika Latin, dari Argentina, Chile, Peru, Venezuela, terus ke arah Amerika Tengah hingga akhirnya bertemu Fidel Castro muda di Mexico sebelum memulai revolusi Kuba dengan kekuatan 85 orang partisan yang bersejarah tersebut.
Maka Tan Malaka, berkelana bermodalkan ijazah Akta Guru nya yang ia peroleh dari Belanda. Sehingga seorang lulusan Eropa, kala itu, akan menjadi guru terpandang dengan pola pikr majunya di sebagian besar negara-negara Asia yang masih dikungkung penjajahan seperti Hindia Belanda, China, Birma, Singapura dan Filipina
Sumber: Tan Malaka dan Che Guevara (gamil opinion.blogspot.com)
Putra Minangkabau sejati bergelar Datuk
Bernama kecil Ibrahim, diberi gelar Datuk Sutan Malaka pada usia 16 tahun di tahun 1913, kelahiran Nagari Pandam Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota.
Tahun kelahiran Tan Malaka, menurut buku ini tidak ada yang dapat dibuktikan kesahihannya.
Dari resensi di buku Poeze bahkan ditemukan catatan sejarah pengakuan tahun kelahiran Tan Malaka adalah 1893, 1894, 14 Oktober 1894, 1896, 1897, atau 2 Juni 1897.
Hal itu dikarenakan sang tokoh revolusi Asia di masa petualngan politiknya sejak tahun 1917 hingga 1942, selalu bergonta-ganti identitas, berpindah-pindah tempat, dan berganti-ganti pekerjaan demi menghindari kejaran polisi dan intelijen di berbagai negara yang disinggahinya, oleh karena aktivitas nya sebagai salah satu pencetus gerakan Partai Komunis di Asia Tenggara, bukan lagi di Indonesia.
Buku ini banyak mengambil materi dari buku karangan penulis biografi Tan Malaka yang paling lengkap hingga saat ini yaitu jurnalis Australia bernama Harry A. Poeze dengan bukunya yang berjudul Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik.
Menarik, setelah membaca buku ini kita akan mendapatkan bukti-bukti bahwa, berbeda dengan Che yang mengakhiri hidupnya sebagai komunis sejati, maka Tan Malaka masih menggunakan sisi religius sebagai seorang putra Minangkabau.
Hal ini tercermin dalam sebuah quote nya di hadapan para interogator politiknya semasa di Hong Kong tahun 1932 yang mengatakan bahwa “Di hadapan Tuhan saya adalah seorang Muslim, di hadapan rakyat jelata saya adalah seorang komunis”.
Komunis bagi Tan Malaka bukanlah paham atheis anti Tuhan sebagaimana yang dianut oleh sebagian besar negara komunis saat ini.
Paham Komunis yang didalami Tan Malaka dari buku-buku Karl Marx dan Engels yang ia lahap semasa pembuangan di Belanda pada tahun 1922, adalah paham keadilan dan kesejahteraan bersama bagi umat manusia, terbebas dari kediktatoran dan penindasan politik…..sehingga baginya tujuan utama Partai Komunis Indonesia yang sempat dipimpinnya di awal tahun 1920-an bersama Muso adalah, kemerdekaan 100% bagi rakyat Indonesia, dan untuk pertama kalinya seorang politikus Indonesia di masa kolonial Belanda berani menyebut kata-kata “Republik Indonesia” adalah dari mulut Tan Malaka.
Itulah sebabnya bagi para proklamator dan pahlawan kemerdekaan Indonesia seperti Ir. Soekarno, Muhammad Yamin, dan Jendral Soedirman, Tan Malaka adalah guru besar mereka.
Bahkan bagi Bung Karno, Tan Malaka memiliki arti khusus, karena bersama Semaun, dan Kartosuwiryo di tahun 1916-1920 mereka belajar dengan seorang guru besar politik Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Walau baru di pertengahan tahun 1945, Bung Karno bertemu muka langsung dengan yang namanya Tan Malaka.
Pada 1921, seorang aktivis lulusan sekolah Akta Guru dari Haarlem Belanda bernama Tan Malaka, adalah sahabat dari HOS Tjokroaminoto yang beliau ajak bergabung dengan gerakan perjuangan anti kolonialisme nya, yaitu Sarekat Islam (SI).
Di tengah jalan, pada tahun 1921, Tan Malaka yang berjiwa revolusioner yang meledak-ledak, akhirnya lebih dekat dengan Semaun yang sama-sama tergila-gila dengan Revolusi Bolshevik Rusia 1917, yang melahirkan negara komunis pertama di dunia, Uni Soviet.
Kedekatan dengan Semaun secara tak sengaja melahirkan SI yang beraliran kiri, sementara SI kanan yang tetap memperjuangkan politik santun dan menonjolkan nafas Partai Islam, dipimpin oleh H. Agus Salim.
Sama-sama orang Minang, namun berbeda jalan perjuangan.
Hal ini yang membuat sedih HOS Tjokroaminoto sehingga ia tidak bersedia menanda tangani pakta bahwa ada dua SI, satu beraliran Islam murni, satu lagi SI bernafaskan Komunis.
Populer dan Disanjung di Negeri Orang, ditangkap dan diperlakukan baik-baik oleh bangsa asing, malah diculik dan dibunuh layaknya penjahat kelas teri oleh bangsa sendiri.
Dalam buku ini dikisahkan bagaimana demi memperjuangkan semangat komunis yang bagi Tan Malaka adalah semangat sosialis, keadilan merata bagi kaum proletar dengan kaum borjuis, tak ada ketimpangan sosial, maka Tan Malaka secara sengaja (karena aktif dalam rapat-rapat organisasi-organisasi komunis di berbagai negara) maupun secara tak sengaja, karena hidup dalam pelarian dan pembuangan, terpaksa bertualang ke berbagai negara di dunia.
1) Deli 1919, dilanjutkan dengan mendirikan sekolah SI di Semarang bagi rakyat jelata hingga tahun 1922. Sebelumnya ketika sekolah di Belanda dari 1913-1919, Tan Malaka sempat mengalami Perang Dunia I. Bahkan kekakgumannya pada tentara Jerman ketika itu, membuat ia mampir ke Belgia dan Berlin dan sempat ingin mendaftarkan diri sebagai tentara Jerman pada Perang Dunia I.
2) Dibuang ke Belanda pada tahun 1922 karena dianggap sekolah SI nya mengajarkan nafas “pemberontakan” terhadap pemerintah kolonial Belanda. Sedemikian aktifnya di Partai Komunis Belanda, sehingga Tan Malak sempat ikut Pemilu Caleg di Belanda pada Maret 1922, namun gagal karena usianya belum memenuhi usia minimal anggota Dewan di Belanda ketika itu, yaitu 30 tahun.
3) Berjuang ke Berlin pada September 1922
4) Ikut aktif dalam rapat-rapat Komintern (Partai Komunis sedunia) di Moskow Oktober 1922 dan Profintern (Gerakan Buruh Sosialis Sedunia) pada saat November-Desember 1922. Sedemikian menonjolnya Tan Malaka pada rapat-rapat itu, akhirnya ia diberi tugas menulis buku lengkap tentang Indonesia dan cita-cita perjuangannya yang akan dibagikan sebagai materi bacaan para anggota Komintern dan Profintern untuk pengenalan terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Ia tinggal di Moscow hingga akhir tahun 1923
5) Pergi ke Kanton, Republik China pada Desember 1923, mendapat tugas menjadi pemimpin redaksi harian komunis berbahasa Inggris “The Dawn.
Dan bertemu dengan tokoh pujaannya yaitu Dr. Sun Yat Sen. Sejarah mencatat, hanya Tan Malaka lah satu-satunya pemimpin perjuangan kemerdekaan Indonesia yang pernah berkenalan langsung dengan sang pendiri Republik China yang ketika itu sedang menderita sakit kanker.
Atas bantuan Dr. Sun, maka Tan Malaka bertolak ke Singapura pada 1924.
Kemudian Tan Malaka sempat “lari” ke Filipina, tinggal di Manila dan bergaul dengan pemimpin dan pendiri Partai Komunis Filipina seperti Dr. Jose Abbad Santos, Mariano de Santos dan lainnya. Lalu setelah sempat ditangkap oleh polisi pemerintah kolonial Amerika Serikat di Manila, maka kemudian Tan di deportasi dan ia memilih kembali ke Kanton karena tidak memiliki kewarganegaraan akibat kewarganeraan Hindia Belanda dan Belanda nya dicabut setelah tertangkap dan dibuang dari Semarang ke Belanda.
Dari Kanton, Tan Malaka pada 1932 sempat ke Shanghai, lalu ke Hong Kong.
Di Hong Kong ditangkap polisi Inggris, diinterogasi oleh seorang utusan intelijen Pemerintah Hindia Belanda, Meneer Vriesbeen.
Dalam interogasi ini sekali lagi Tan Malaka menyatakan quote yang terkenal “Suara saya akan lebih nyaring terdengar dari dalam kubur, dibanding saat saya masih hidup di dunia”
Dan ia mencoba memperingatkan akan adanya bahaya Perang Dunia ke II yang lebih besar daripada Perang Dunia I yang ia alami sewaktu sekolah di Belanda.
Ia mengatakan kepada para polisi Inggris dan interogator Belanda di Hong Kong tersebut “Storm Ahead, Don’t Loose Your Head” (Badai mennati di depan, awas, jangan sampai Anda kehilangan kepala Anda”
Menurut Tan Malaka, arti harfiah dari ucapannya itu adalah peringatan kepada Pemerintah Kolonial Inggris dan Belanda bahwa wilayah-wilayah jajahan mereka di Asia, terutama Asia Tenggara terancam bahaya “musuh tak terlihat” yaitu Jepang yang saat itu sedang menggeliat mencaplok satu per satu wilayah di Republik China.
Tak ada penyiksaan maupun kemarahan Tentara Inggris dan Mr. Vriesbeen oleh jawaban-jawaban Tan Malaka dalam interogasi tersebut. Malah terkadang mereka tertawa bergurau.
Dan bahkan, dengan jujurnya Pemerntah Inggris di Hong Kong memulangkan Tan Malaka ke Kanton China, karena terikat Undang-undang bahwa seorang tahanan politik asing harus diperlakukan baik-baik dan dipulangkan ke tempat asalnya.
Ketika itu Tan Malaka tidak memiliki kewarga negaraan, dan ia masuk Hong Kong dari China, maka ia pun dikembalikan ke China. Dari China ia berkelana ke Rangoon Burma.
Kemudian ia masuk Singapura. Pindah dari Singapura ke Hindia Belanda melalui Penang, Malaysia
Ramalan Tan Malaka pun menjadi kenyataan ketika ia berada di Singapura tahun 1942, Singapura dibom dan diinvasi Jepang. Padahal saat itu dengan paspor sebagai seorang China, Tan Malaka sedang aktif mendirikan sekolah Bahasa Asing di Singapura, memanfaatkan kemampuan multi bahasa yang ia miliki, Inggris, Prancis, Belanda , Jerman, Russia, China, Tagalog, dan Melayu.
Hanya H. Agus Salim dalam sejarah politik Indonesia yang mampu mengalahkan jumlah bahasa asing yang dikuasainya. Tapi itupun sebagian besar Agus Salim menguasai bahasa bangsa Eropa, beliau tak bisa bahasa Tagalog Filipina yang dikuasai Tan Malaka hanya dalam 3 bulan pertama tinggal di Filipina.
Luar biasa jika kita membaca dari buku ini, romantika kisah petualangan keliling dunia nya Tan Malaka, dan kecerdasannya baik dalam menguasai bahasa asing maupun menguasai pergaulan dengan bangsa asing hingga ia dijadikan “Tokoh Penting” di negra-negara Belanda, Jerman, Russia, Kanton China, Filipina dan Singapura.
Di Tanah Airnya sendiri?
Akibat karakternya yang boleh dibilang “radikal”, maka akhirnya duet Soekarno-Hatta pun pelan-pelan berpisah jalan dengan Tan Malaka. Bahkan sedari awal Hatta yang sama halnya dengan Agus Salim, satu suku dengan Tan Malaka, sama-sama orang Minang, menentang rencana Soekarno menerima Tan Malaka di bulan Juni 1945 di rumahnya.
Dalam buku ini juga dikisahkan bagaimana Soekarno yang dibuat terpana dengan pandangan idealis dan Merdeka 100% nya Tan Malaka, bagimana Tan Malaka meminta agar Soekarno secepatnya memproklamirkan kemerdekaan RI, bila perlu dengan cara menyerang Jepang yang mulai banyak kalah perang di Pasifik ketika itu.
Karena sebagaimana jitunya prediksi Tan Malaka di tahun 1930-an bahwa akan pecah Perang Dunia ke II dengan Jepang tampil sebagai kekuatan yang tak terduga membantu Jerman menyerang Sekutu di Asia, maka kepada Soekarno pun, Tan Malaka menyampaikan suatu prediksi yang dicatat sejarah kemudian terbukti benar, bahwa Belanda akan segera membonceng Sekutu yang baru saja sukses mengalahkan Jerman di Eropa, untuk menyerang kekuatan Jepang yang mulai melemah di Hindia Belanda, dan merebut kembali klaimnya atas Hindia Belanda.
Soekarno sempat berwasiat kepada Tan Malaka ,”Jika saya dan Hatta suatu saat nanti mendapat hambatan baik dari pemerintah Jepang maupun pihak Barat, dalam menggerakkan rakyat, maka tahta kepemimpinan revolusi saya serahkan kepada Anda”.
Suatu penghargaan sedemikian tinggi dari calon Presiden Republik Indonesia yang pertama kepada orang yang selama ini hanya ia kenal dari buku tulisan Tan Malaka “Aksi Massa”, yang diakui mempengaruhi Soekarno dalam menggerakkan massa.
Namun itulah takdir Tan Malaka, ia karena hingga Agutsus 1945, menghindari incaran polisi militer Jepang, sehingga kecuali kepada Soekarno dan A. Soebardjo, maka kemana-mana Tan Malaka masih dikenal orang sebagai tokoh samarannya, Ilyas Hussein.
Sutan Syahrir, Hamngkubuwono IX, dan tokoh-tokoh perjuangan muda yang lain pun belum ada yang tahu jika Tan Malaka sang legenda perjuangan sosialis Hindia Belanda, masih hidup dan kala itu ada di sekitar mereka hidupnya, ketika menjelang Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan.
Karena hal itulah, ia “ditinggal” oleh gerakan pemuda yang menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok tanggal 16 Agustus 1945, sehingga Tan Malaka pun tak hadir pada saat Proklamasi Kemerdekaan esok harinya, pun Tan Malaka tak “diingat” orang ketika pemerintahan Soekarno-Hatta kemudian hari membentuk Kabinet Presidium RI yang pertama, padahal ia amat berhak menempati satu posisi menteri jika melihat sepak terjang nya, bahkan Bung Karno bersedia menjadikan ia sebagai penggantinya.
Setelah sempat dipenjara oleh Pemerintah selama setahun (1947-1948) karena akitivitasnya yang ke kiri-kiri an, maka kemudian Tan Malaka bergerilya
Tan Malaka harus mengakhiri hidupnya secara tragis, dibunuh oleh tentara Pemerintah di tahun 1949, di suatu tempat yang belum diketahui keberadaannya hingga kini, di Kediri Jawa Timur.
Lahir di Sumatera Barat, berkelana ke Deli, Semarang, Amsterdam, Haarlem, Bussum, Rotterdam (Belanda), Brussel (Belgia), Berlin (Jerman), Kanton dan Shanghai (China), Hong Kong, Filipina, Singapura, menyusup ke Indonesia melalui Palembang lalu tinggal di Bayah, Banten akhir tahun 1942, hingga turut memperjuangkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 lalu berseberangan jalan dengan politik perundingan yang digagas duo Soekarno-Hatta, sehingga memilih berjuang di bawah tanah dengan Sutan Sjahrir, dan sempat menarik simpati Jendral TNI Soedirman.
Namun akhirnya, disinyalir tanpa seijin dan sepengetahuan Soedirman, akhirnya diculik dan dibunuh di Kediri Jawa Timur, oleh sebuah kesatuan TNI Macan Kerah pimpinan Kapten Sampoerno, di bawah komando Gubernur Militer Jawa Timur yang ketika itu dipimpin Kolonel Soengkono (yang kini jadi nama jalan di Surabaya, Mayjen Sungkono).
Sumber: Tan Malaka semasa gerilya bersama Jendral Soedirman 1947-1949 (id.wikipedia.org)
Tan Malaka bukan seorang atheis
Sebelum masa persembunyian di Bayah itulah, ia sempat melahirkan mahakarya genius yang terkenal berjudul “MADILOG”, sebuah buku teori filsafat yang mencerahkan bangsa yang ketika itu masih terkungkung oleh filsafat mistis, percaya takhayul, diajarkan berfikir logis dan cerdas ala masyarakat negara-negaraBarat ketika itu.
Perpaduan buah pemikirannya tentang Materialisme, Dialektika dan Logika yang ia pelajari dari Marxisme, dan Islamisme.
Membaca buku ini kita akan tahu bahwa Tan Malaka bukan lah seorang komunis atheis sebagaimana Karl Marx. Ia komunis karena revolusioner, namun tidak kafir hingga akhir hayatnya. Bahakan di buku ini ia menyatakan telah berkali-kali khatam Al Quran dan terjemahannya semasa di Eropa, dan hafal surat Yaasin.
Ia juga menentang dan akhirnya meninggalkan PKI akibat tidak mau mendengar nasihatnya untuk tidak memebrontak di tahun 1926. Juga ketika meletus pemberontakan PKI Madiun tahun 1948, yang menewaskan sahabat-sahabat seperjuangannya Semaun, Muso, Alimin, Darsono, ia menyesalkan dan menentang mereka.
Padahal karena perkenalan dari keempatnya lah, di dekade 1920-an, Tan Malaka menjadi populer di kalangan Partai Komunis Eropa hingga menjadi sahabat Dr. Sun Yat Sen di China.
Petualang Sejati yang Tak Pernah Pulang Kampung dari Rantau, Menyendiri hingga akhir hayat
Pada tahun 1913 juga, bersamaan dengan ia diberi gelar Datuk Sutan Malaka, sebenarnya oleh orangtuanya, Tan Malaka, demikian kemudian ia lebih senang dipanggil, dijodohkan dengan seorang putri kaum terpelajar di kampung nya.
Namun ia menolak dengan alasan belum siap untuk menikah, dan akhirnya hingga akhir hayatnya ia hidup membujang, karena terlalu sibuk bertualang dan memikirkan nasib bangsanya dan masyarakat tertindas di seluruh dunia.
Padahal orangtuanya hanya punya dua anak lelaki. Dan sebagai yang tertua, Tan Malaka tidak pernah kembali pulang merantau sejak tahun 1913, dan kemudian malah mati membujang tak jelas makamnya dimana hingga kini.
Bagi seorang ibu Minang, sebagaimana ia kaui dalam buku ini, tak punya anak perempuan saja, sudah habis hak garis keturunannya termasuk warisan secara matrilineal yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Minangkabau.
Tambah lagi ia tak memberi mantu tak memberi cucu pada sang Ibunda, tidak pernah pulang pula sejak emrantau ke Belanda di usia 16 tahun. Walaupun ketika 1922 dibuang ke Belanda, dalam perjalanan, kapal yang membawanya ke Belanda sempat singgah beberapa jam di Teluk Bayur Padang, namun atas permintaannya, ia tak mengijinkan orangtuanya datang ke Teluk Bayur.
Di pelabuhan kala itu ramai massa yang mengelu-elukannya sebagai pahlawan perlawanan terhadap Belanda, namun hanya adiknya seorang yang menjadi saksi peristiwa tersebut. Orangtuanya tinggal di rumah di Lima Puluh Kota dekat Bukittinggi.
Ia tak ingin hati orangtuanya hancur, anak yang disekolahkan ke Belanda dengan harapan menjadi seorang pejabat dan Guru di Sekolah -Sekolah Hindia Belanda malah menjadi guru sekolah rakyat yang dianggap sebagai simbol pemberontakan.
Ia ketika itu, diperlakukan sebagai seorang penjahat.
Ia tak meninggalkan warisan keturunan maupun harta bagi keluarganya, namun ia meinggalkan warisan tak ternilai bagi bangsa nya, yaitu lahirnya negara Republik Indonesia yang ia bidani berempat bersama Soekarno, Hatta dan Syahrir.
Ia tak pernah menjadi anggota Kabinet Pemerintahan setelah Indonesia Merdeka, berseberangan jalan dengan ketiga kompatriotnya di atas, sama seperti ketika ia berpisah jalan dengan H. Agus Salim di SI, dengan Semaun dkk. di PKI….ia adalah seorang “Lone Ranger” kalau boleh saya sebutkan demikian.
Petualang penyendiri, yang memiliki massa di berbagai negara di dunia, namun tak pernah meimilik sahabat sejati dalam perjuangannya.
Demikian lah sekilas isi buku ini.
Menarik untuk difilmkan dalam format Layar Lebar
Saya kok berkesimpulan, bahwa kisah Tan Malaka dari buku ini menarik untuk difilmkan di layar lebar, dan akan laku dijual di pasaran film internasional jika digarap secara serius ala bioepic film Hollywood seperti Gandhi, Nixon, Kennedy, Lincoln dan lainnya.
Atau mungkin tak akan kalah menarik dari film Sukarno yang digarap Hanung Bramantyo tahun 2013 ini.
Karena ada beberapa adegan dalam buku ini, dikisahkan bagaimana di Belanda dalam rapat Parati Komunis, maupun ketika rapat Komintern di Russia, Tan Malaka dielu-elukan oleh massa yang sebagian berkulit putih setiap kali menyelesaikan pidato nya.
Hanya Soekarno yang memiliki kemampuan seperti ini, namun Soekarno sendiri mengakui dalam menguasai massa, ia banyak belajar juga dari Tan Malaka selain dari HOS Tjokroaminoto.
Adegan seperti ini akan tampak mengharukan jika difilmkan.
PENULIS
ANDHIKA HERU KOMPASIANA